Stereotype Yang Mengganggu : Kemandegan Peran BK di Sekolah
Bimbingan dan konseling di
sekolah sering menjadi sorotan ketika terdapat kasus siswa yang ditemukan. Alih-alih
karena perannya yang berorientasi kuratif, hingga banyak guru
berbondong-bondong mendorong siswa yang bermasalah (memiliki catatan khusus) ke
ruang BK untuk bertemu guru bimbingan dan konseling. Tidak salah, tidak juga
sepenuhnya benar. Pemikiran bahwa ruang BK, guru BK, adalah satu komponen di
sekolah yang bertugas untuk menuntaskan masalah anak-anak nakal. Sehingga,
pemikiran guru dan siswa pun tak lain adalah bahwa jika ada siswa yang ngobrol
dengan guru bk maka siswa tersebut bermasalah.
Pada dasarnya, semua manusia itu
bermasalah. Memiliki porsi masalahnya masing-masing. Namun pandangannya adalah
ada masalah yang dialami secara pribadi dan tidak terlibat dengan pihak lain,
ada juga masalah yang menyangkut dengan norma dan aturan yang berlaku di
sekolah. Ada pula masalah siswa yang benar-benar dirahasiakan oleh guru BK
karena siswa enggan untuk berkomunikasi dengan guru-guru yang lainnya.
“guru BK kan kerjaannya buat
anak-anak nakal, anak-anak yang bermasalah, terutama yang suka langgar aturan,
selain itu guru BK juga tugasnya ngasih punishment
buat anak-anak yang melanggar aturan sekolah dan normanya. Kerjaannya hanya
itu saja, sebenarnya santai dan tidak banyak pekerjaan seperti guru-guru mata
pelajaran lain.” Ujar guru mata pelajaran.
“pak aku mah gamau ke ruang BK,
takut. Karena nanti temen-temen aku pasti nganggep aku punya masalah. Apalagi doi
aku kalau tau takut jadi ngejauh. Terus biasanya di ruang BK pasti dinasehatin
dan dimarahin jadi aku takut down. Akhirnya aku gamau masuk ruang BK, kalaupun
masuk ya paling di dengar masuk telinga kanan keluar telinga kiri.” Ujar
seorang siswa.
Stereotype (pandangan yang
membenarkan cara masa lalu) terhadap BK di sekolah menjadi dinding penghambat
aktualisasi peran BK di sekolah. Karena dinding itu sangat kuat, sehingga
apapun upaya yang dilakukan oleh guru BK di sekolah, tetap dianggap
sebagai isapan jempol belaka. Bukan
untuk mendapatkan apresiasi melainkan ada harapan untuk kesamaan paradigma terkait
peran BK di sekolah.
Kalau guru mata pelajaran punya
fungsi meningkatkan kompetensi kognitif siswa, nah kalau Guru BK punya juga
fungsi untuk meningkatkan kompetensi afeksi siswa. Afeksi berkaitan juga dengan
psikologis siswa. Kalau siswa di sekolah tidak ada sektor khusus untuk
memberikan dampingan psikologis pada siswa, maka boleh jadi kompetensi kognitif
tinggi namun kompetensi afeksinya rendah (kurang mampu mengelola emosi, kurang
peka terhadap lingkungan, cenderung menghindari konflik, dan lainnya).
Stereotype tentang peran BK itu sangat-sangat
mengganggu, benar-benar menganggu. Tapi kita tidak boleh menyalahkan pikiran
orang lain dengan sembarangan. Perlu ruang-ruang diskusi dan aksi-aksi
kolaborasi nyata yang semakin mempertegas peran BK di sekolah. Sehingga kita
yakin bahwa pendidikan di Indonesia akan semakin cerah dengan adanya peran BK
di sekolah yang utuh dan holistik.
Komentar
Posting Komentar