MANUSIA-MANUSIA YANG TERTINDAS
Pendidikan sejatinya membawa manusia-manusia menuju being human dalam arti manusia menyadari akan hakikat dirinya
sebagai manusia sehingga ia mampu dengan optimal menempatkan diri untuk
berkembang, dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Paradigma umum semakin
menyempitkan arti pendidikan menjadi persekolahan. Sekolah menjadi wahana
pembelajaran manusia secara berjenjang mulai dari pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Paradigma bahwa pendidikan artinya bersekolah menjadikan
manusia-manusia Indonesia berpikiran bahwa orang yang tidak sekolah berarti
tidak berpendidikan sedangkan hakikat pendidikan tidak serendah itu. Tiap
jenjangnya diartikan sebagai prestise
dari ukuran keberhasilan setiap manusia. Semakin tinggi pendidikannya, semakin
sukseslah ia begitu paradigma pada umumnya.
Manusia Indonesia semakin dihadapkan kepada kerumitan masalah pendidikan.
Paradox yang menyatakan bahwa pendidikan karakter yang dicanangkan sebagai
proses upaya pembenahan generasi moral ternyata bukan semakin menguatkan fungsi
sekolah sebagai wahana penanaman nilai-nilainya. Toh pada akhirnya benar kata
Freire dalam bukunya pendidikan kaum tertindas yang menyatakan bahwa selama
pendidikan belum diarahkan kepada hadap masalah, realitas, dan optimalisasi
diri, hal itu akan terus menjerumuskan pada upaya-upaya ketertindasan. Pemeo
guru serba tahu dan murid tidak tahu, guru mengajar dan murid belajar semakin
nyata saja. Sebagus apapun kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah pun
ternyata masih saja membuat beragam polemik yang muncul di tengah hiruk pikuk
masyarakat pendidikan.
Ketertindasan semakin merajalela. Manusia Indonesia yang tidak mengenyam
bangku pendidikan semakin dimarjinalkan sebagai orang yang tidak berhasil di
era kini. Orang yang berpendidikan tinggi lah yang dikatakan sebagai manusia
paripurna. Padahal, jika kita melihat lebih jelas fakta yang muncul di
permukaan fenomena masyarakat Indonesia bahwa justru tidak sedikit orang-orang
yang berpendidikan tinggi melakukan sebuah upaya dehumanisasi dirinya sendiri.
Korupsi, kriminalisasi, pelecehan, buang sampah sembarangan, antre sembarangan,
bicara tidak sopan, sikap nol besar, dan perilaku-perilaku lain yang semakin
menyia-nyiakan dirinya selama mereka berjibaku mengenyam pendidikan.
Apa yang salah? Apakah manusia-manusia yang tertindas, yang tidak
mengenyam bangku sekolah itu tidak sukses karena tidak mampu mengenyam
pendidikan tinggi? Apakah justru karena semakin banyak orang berpendidikan
tinggi yang semakin menguatkan dehumanisasi dirinya sendiri? Padahal sejatinya
pendidikan sudah seharusnya membawa kepada being
human sehingga apa yang ia dapatkan selama mengenyam di bangku sekolah
mampu sejalan dengan apa yang ia lakukan dalam pengentasan permasalahan
masyarakat.
Manusia-manusia semakin tertindas. Manusia yang tak mampu mengenyam
pendidikan tinggi dilabel sebagai manusia tak berpendidikan, sedangkan manusia
yang berpendidikan dicap sebagai orang hebat dan sukses sedangkan sikapnya
malah semain dehumanisasi dirinya sendiri. Acapkali kita sadari bahwa
manusia-manusia pada hakikatnya adalah baik. Seperti kertas kosong yang bersih,
putih, dan tak bernoda.
Lagi-lagi pendidikan inilah yang perlu dibenahi. Mulai dari paradigma
umum yang menjangkit masyarakat Indonesia, hingga kepada praktik-praktik di
lapangannya. Sudah seharusnya masyarakat lebih menyadari bahwa paradigma
pendidikan sudah harus bergeser ke arah long
life learning yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Keluarga, sekolah,
masyarakat menjadi tri pusat pendidikan seperti yang digagas oleh Ki Hadjar
Dewantara yang harus terus dikuatkan sebagai media pendidikan paling ampuh.
Sinergitas ketiga termin ini menjadikan praktik-praktik pendidikan semakin
membuat manusia menjadi sebernarnya manusia. Humanisasi harus terus digalakkan.
Ketertindasan bermula dari praktik-praktik pendidikan di sekolah harus segera
dihapuskan. Dan itu butuh berapa puluh tahun lamanya?
Fikri Faturrahman
Komentar
Posting Komentar