KONSELOR SEBAYA : MENJAWAB GAP GURU BK-SISWA
" Guru BK nya galak, jadi takut mau
cerita"
" Ke ruang BK tujuannya mau cerita, taunya malah dinasehatin, ngedengerinnya engga"
" Ke ruang BK tujuannya mau cerita, taunya malah dinasehatin, ngedengerinnya engga"
Kurang lebih
itulah testimoni yang muncul pada beberapa kondisi di sekolah terkait tanggapan
siswa terhadap guru BK. Bimbingan dan Konseling atau biasa disebut BK. BK di
sekolah menjadi primadona siswa bilamana mereka memiliki persoalan atau ada
yang ingin ditanyakan terkait urusan-urusan pribadi, sosial, belajar, dan
karirnya. Harapan yang besar akan diterimanya siswa bercerita, mendapatkan
solusi, dan mendapatkan kenyamanan layanan menjadi beberapa alasan siswa mau
untuk bercerita dengan Guru BK. Namun tidak sedikit pula siswa yang enggan
untuk bercerita dengan Guru BK dikarenakan takut dimarahi, takut diberi
hukuman, takut diberi surat perjanjian, dan takut dinasehati. Sudah saatnya ada
satu peran baik di era kekinian yang harus digencarkan, salah satunya adalah
Konselor Sebaya.
Beda zaman
beda pula pendekatannya. Beda generasi beda pula karakteristiknya. Jikalau dulu
atau mungkin sampai dengan hari ini Guru BK sering menggunakan pendekatan
sanksi dan nasehat, maka sudah saatnya pendekatan yang lebih friendly
dan dialogis digunakan. Generasi terdahulu siswa dicubit guru melapor ke orang
tuanya malah dimarahi, dan sekarang siswa dicubit guru orang tuanya melapor ke
kepolisian untuk dihukum. Apakah gurunya yang salah? siswa yang salah?
atau orang tua yang salah? siapa yang salah? Guru BK?
Konselor
sebaya menjadi salah satu solusi untuk menjawab Gap Guru BK dengan siswa. Gap
yang dimaksud adalah bilamana siswa cenderung canggung untuk bercerita dengan
Guru BK, dan Guru BK mengalami kesulitan untuk menangani banyak siswa, konselor
sebaya menjadi peran yang tepat untuk menjawab gap tersebut.
Konselor
sebaya atau PR (Peer Counselor) singkatnya adalah siswa yang menjadi konselor
bagi siswa lainnya. PR sudah diinisiasi oleh beberapa instansi seperti
puskesmas, BKKBN misalnya membentuk PIK-R (Pusat Informasi Konseling - Remaja)
yang didalamnya terdapat PR untuk membantu siswa-siswa di sekolah baik bersifat
informasi kesehatan dan reproduksi ataupun konseling. Namun nampaknya inisiasi
tersebut belum terimplementasi dengan baik di setiap sekolah. Belum semua
sekolah memahami dan menyadari akan pentingnya peran PR dalam membantu
persoalan siswa di sekolah. Lalu bagaimana langkah untuk membentuk peer counselor di sekolah?
Melakukan
sebuah survey akan kebutuhan dan masalah yang ada di sekolah menjadi hal utama
yang perlu dilakukan. Sebagai langkah awal untuk mengetahui ragam persoalan,
kebutuhan siswa dan juga karakter konselor sebaya yang seperti apa yang akan
dibentuk untuk menjadi masukan dalam materi pelatihan nantinya. Langkah kedua
adalah melakukan perekrutan dan penyeleksian. Perekrutan yang dimaksud
berbentuk student volunteers yaitu
siswa yang memiliki minat untuk membantu sesama temannya, memiliki keterampilan
komunikasi yang baik, jiwa sosial yang tinggi, dan kemampuan untuk memahami
masalah. Perekrutan dilakukan bekerjasama dengan kesiswaan dan wali kelas untuk
menjaring siswa yang sesuai dengan kriteria student
volunteers. Setelah calon PR direkrut, lalu tahap berikutnya adalah
penyeleksian. Tahap penyeleksian dilakukan dengan melihat komitmen, kesiapan,
dan kemampuan siswa yang sudah direkrut. Tugas Guru BK, Kesiswaan, dan Wali
Kelas menyeleksi siswa-siswa yang berhak menjadi PR di sekolah.
Setelah
diseleksi, PR diberikan pendidikan dan pelatihan dengan materi-materi seperti
kemampuan menghampiri (attending skills),
keterampilan komunikasi konseling, mengekspresikan perasaan, aktif
mendengar, latihan empati, kemampuan umpan balik, mengambil keputusan, problem solving, kode etik, dan rujukan.
(materi-materi tersebut dapat dirangkai dalam sebuah modul). Pendidikan dan
pelatihan dilakukan 10-12 minggu yang didalamnya terdiri dari pemberian materi,
diskusi dan simulasi, dan penugasan. Pada bagian penugasan, setiap siswa akan
dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan core problems. Setiap core
problems ditugaskan untuk menjadi peer
counselor yang menerima teman sebaya sebagai klien. Lalu tugas Guru BK
adalah melakukan supervisi pada setiap core
problems, sehingga dapat memberikan evaluasi dan rekomendasi untuk
peningkatan kemampuan PR dalam melakukan konseling.
Secara
sistematis didukung oleh kebijakan kepala sekolah dan seluruh stakeholder sekolah, maka peer counselor di sekolah dapat membantu
persoalan-persoalan di sekolah sehingga mampu meningkatkan kualitas sekolah tak
hanya dari segi prestasi namun dari kesejahteraan dan kesehatan mental
siswa-siswanya.
Tertarik untuk mengembangkan
konselor sebaya di sekolah?
Bandung, 20 Februari 2019
Fikri Faturrahman
Komentar
Posting Komentar