KESESATAN BERPIKIR TENTANG PENDIDIKAN
Sudah
tak asing lagi di telinga kita bahwa berbicara mengenai pendidikan itu identik
dengan sekolah, guru, dan siswanya. Banyak orang memiliki paradigma bahwa orang
yang berpendidikan adalah orang yang telah menempuh pendidikan di sekolah saja.
Hal ini pun terlihat dari fokus pemerintah terhadap pendidikan formal. Sedihnya
lagi, politisasi pendidikan yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah banyak
sekali dilakukan melalui program-program pemerintah yang berkaitan dengan
sekolah, entah itu seperti dana BOS, Ujian Nasional, dan politisasi lainnya
yang acapkali pula dijadikan lahan untuk korupsi. Alangkah sedihnya jika
pendidikan Indonesia dibiarkan seperti ini dari hal-hal yang tidak seharusnya
ada. Politisasi pendidikan yang merugikan kemajuan pendidikan.
Mulai
dari tataran birokrat, praktisi, hingga ahil sering kali memiliki gap-gap
tersendiri dalam pandangannya terhadap dunia pendidikan. Birokrat berpikir
secara sistemik, praktisi berpikir secara teknis, ahli berpikir secara
teoritis, meskipun ketiga komponen tersebut tidak begitu saja secara parsial
terpisah. Namun, pada umumnya demikian akan tugas dan fungis masing-masing stakeholder. Birokrat melihat bahwa di
kurikulum pendidikan Indonesia harus ada yang diubah sebab melihat hasil
evaluasi pendidikan adanya penurunan kualitas. Pendidikan dan tenaga
kependidikan menilai bahwa banyak sekali guru-guru yang belum sejahtera secara
ekonomi lalu semakin banyak tuntutan pekerjaan dan problem lainnya yang membuat
mereka menjadi turun kualitas mendidiknya.
Ahli berpikir secara teoritis lalu
diimplementasikan dalam riset-risetnya yang menjadi pertimbangan birokrat dan
praktisi dalam menjalankan pendidikan di Indonesia namun tak jarang pula
risetnya tidak memiliki hasil yang signifikan terhadap perubahan pendidikan Indonesia.
Namun, itu semua tidak akan berjalan dengan lancar bila tak diikut sertakan
peran masyarakat. Saya melihat ada hal positif sejak Kemendibud dipegang oleh
Pak Anies Baswedan yang membuat sebuah gebrakan dengan melibatkan masyarakat
dalam proses perumusan kebijakan, khususnya pada saat itu proses revisi
kurikulum 2013 yang sampai dengan hari ini hilang kabarnya.
Adanya
kesesatan berpikir tentang pendidikan menjadi dasar dari adanya
kebijakan-kebijakan baik dari tataran pemerintah sampai dengan sekolah yang tak
sesuai dengan seharunya. Seperti contohnya adalah kebijakan pemerintah yang
selalu mementingkan pengembangan pendidikan di bagian materi melulu seperti
KIP, dan dana bantuan lainnya meskipun memang hal itu bermanfaat bagi banyak
anak di Indonesia. Namun, dari 20% anggaran pendidikan yang disediakan oleh
Negara mengapa tidak sebagian besar anggaran itu digunakan untuk pengembangan
manusia-manusianya? Karena pendidikan itu berbicara mengenai “manusia”, bukan
sebatas “materialistik” yang hanya memuaskan secara kasat mata saja, meski
memang banyak sekali dibutuhkan. Belum lagi kesesatan berpikir yang pernah
disampaikan oleh Paulo Freire dalam Bukunya pedagogy
of opressed bahwa Guru itu mengajar, murid belajar. Guru serba tahu, murid
tidak tahu, Guru memerintah, murid mengikuti perintah, sehingga proses
pembelajaran tak lain hanyalah sebuah proses transfer of knowledge saja.
Kesesatan
berpikir ini bukan dipandang sebagai suatu hal yang salah mutlak. Namun, ini
adalah perspektif yang menganggap bahwa sudah saatnya kita menghancurkan stereotype terhadap pemikiran-pemikiran
pendidikian demikian. Harus ada perubahan secara ideologis dalam pendidikan.
Seperti halnya Ki Hajar Dewantara yang benar-benar memberikan sebuah ideologi
pendidikan sepanjang hayat yang sampai dengan hari ini kita rasakan bersama
efeknya. Ingatlah, masalah pendidikan tidaklah melulu soal material. Namun,
ideologi pendidikan pun menjadi hal yang harus diperhatikan. Supaya kita semua
tidak terjebak dalam pemikiran-pemikiran pendidikan yang membuat proses
pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Mau dibawa kemana pendidikan kita?
Hidup
Pendidikan Indonesia!
Bandung, 19 April 2019
Fikri Faturrahman
Komentar
Posting Komentar