ILMU YANG TAK TERKONEKSI
Kita hidup di dunia ini tidak abrakadabra. Begitu lahir
tidak langsung menjadi bisa berjalan, berbicara, berpikir seperti orang dewasa
sekalipun Tuhan memberikan keajaiban kepada beberapa manusia yang sejak
lahirnya sudah diberikan kelebihan yang tidak dimiliki orang banyak. Maka, kita
sepakat bahwa kita hidup di dunia ini diwajibkan untuk belajar.
Belajar. Seringkali dimaknai sebagai suatu aktivitas yang
selalu dikaitkan dengan kelas, waktu, buku, dan tugas-tugas yang menumpuk.
Boleh bahkan kita perlu untuk ada pandangan belajar dalam konteks tersebut. Dan
dalam tulisan ini, saya ingin mencoba membuka tabir yang selama ini seringkali
kita keluhkan. Meski tulisan ini didasari pada hasil kontemplasi dan referensi
filsafat ilmu, tapi bukan berarti akan mengaburkan esensi dari mencari ilmu itu
sendiri. Maka, mari kita berjelajah tentang petualangan mencari ilmu. Tentang
proses sampai kepada hasilnya.
Dari Pendidikan Kaum Tertindas ke
Pendidikan Abad-21 : Tak Terpisahkan
Pendidikan kaum tertindas. Tentu sudah tidak asing lagi
gagasan pendidikan ini diusung oleh Paulo Freire, yang lahir di Recife pada
tanggap 19 September 1921, Brazil dan telah wafat pada tahun 1997. Konsep
pendidikan kritis yang digagasnya adalah bentuk dari kesedihan, kekecewaan,
serta kekesalan terhadap tindakan-tindakan yang dialaminya semasa menjadi kaum
tertindas. Ia mengalami kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929,
suatu pengalamannya yang mendorong dari empatinya untuk membentuk pandangan pendidikannya
yang khas. Bukti bahwa manusia ketika diberikan tekanan yang begitu besar,
selalu muncul ide besar yang mempu membuat banyak perubahan.
Sederhana tapi bermakna. Pendidikan gaya bank adalah bentuk
kritik dari proses pendidikan yang memandang bahwa siswa itu ibarat bank yang
harus dituangkan uang. Dalam konteks ini adalah siswa yang bersifat pasif.
Istilah-istilah yang sangat terkenal dari pandangan ini adalah :
“
Guru mengajar, murid belajar. Guru serba tau, murid tidak tau. Guru memberikan
perintah, murid mengikuti perintah. Guru berpikir, murid dipikirkan. Guru
bicara, murid mendengarkan. Guru mengatur, murid diatur. Guru memilih apa yang
diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru adalah subyek proses belajar, dan
murid adalah objeknya.”
Jelas.
Otoritas guru sangatlah besar dalam pandangan tersebut. Dalam konteks politik,
guru memiliki kekuasaan yang absolut. Terkecuali jika memang guru tersebut
mampu menggunakan kekuasaan itu dengan baik. Jadi sudut pandang dari otoritas
tersebut dapat bernada positif maupun negatif. Konsep demikian digunakan di
beberapa pesantren dan sekolah-sekolah.
Kemudian, muncul solusi yang digagas oleh Paulo Freire bahwa
pendidikan perlu untuk melibatkan tiga unsur. Pendidik, Peserta didik, dan
realitas dunia. Pelibatan tiga unsur ini kemudian dijadikan satu konsep
Pendidikan Hadap Masalah. Pendidikan Abad ke-21 merujuk kepada penelitian dari
Pattrick Griffin bahwa manusia abad ke-21 pelru memiliki 4 kompetensi utama.
Ways of thinking (inovation, high critical thinking, problem solving), ways of
working (communication, collaboration), tools of working (ICT Learning), living
in the world (peacefullness, harmony in diversity). Jika disederhanakan, konsep
pendidikan abad-21 kurang lebihnya akan merujuk kepada kompetensi-kompetensi
tersebut.
Kaitannya pendidikan kaum tertindas dengan pendidikan abad
ke-21 adalah bahwa realitas menjadi sangatlah penting untuk sasaran realisasi
kompetensi abad ke-21 untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di berbagai
skala. Sehingga hal ini menjadi dasar bahwa pendidikan sudah seharusnya
diarahkan kepada realitas. Nah, tidak sampai disana. Bagaimana cara kita
menempuh ilmu untuk mencapai kompetensi tersebut?
Hakikat Yang Terlupakan
Pendidikan dalam arti luas, luas terbatas, dan arti sempit.
Tak terbatas ruang dan waktu, non formal, formal, dan informal, hingga sekolah.
Maka, ketiga arti ini yang perlu kita sama-sama pahami bahwa ilmu pengetahuan
dapat kita raih dengan jalan-jalan tersebut. Sebagai makhluk hidup yang beriman
dan berakal, tentu hakikat ilmu itu adalah untuk lebih dekat dengan-Nya, lebih
yakin dengan-Nya, dan sadar bahwa pada akhirnya ilmu itu akan berujung
kepada-Nya. Artinya, dalam mencari ilmu kita tidak bisa melepaskan hakikat ini
yang barangkali kita lupa dalam prosesnya.
Mencari ilmu. Petualangan yang menyenangkan sekaligus sangat
menegangkan. Karena untuk mendapatkan dan mengamalkannya tidaklah mudah. Namun,
segalanya mampu dimudahkan jika kita paham bagaimana hakikat mencari dan
mengamalkan ilmu. Tergantung kepada niat. Tujuan apa yang hendak akan dicapai
dari mencari ilmu. Bisa karena pekerjaan, tuntutan profesi, dari yang benar
hingga yang disalahgunakan. Back to the person.
Mencari ilmu. Mudahnya, bisa kita langsung melihat realitas
kita di dalam ruang-ruang kelas. Baik di tingkat dasar hingga tinggi, mencari
ilmu di dalam kelas adalah rutinitas yang sudah menjadi kebiasaan dari pola
pikir pendidikan Indonesia. Berjajar bangku,meja, dan alat lainnya sebagai alat
yang membantu proses pembelajaran. Ditambah dengan pencahayaan yang terang,
proyektor dan layar untuk memudahkan peserta didik memahami apa yang
disampaikan oleh gurunya.
Lalu,
apakah ilmu kemudian dapat mudah didapatkan dengan kondisi demikian?
Error,
Ilmu was Not Connected
“Duh,
hari ini gabut. Pelajaran di kelas ga ada yang masuk ke otak. Males jadinya!.”
Keluhan. Jujur, saya yakin banyak orang yang pernah mengeluh
hal demikian meski tak diucapkan langsung. Ya, inilah fenomena pendidikan.
Jasad sudah masuk di dalam kelas, tapi entah ruhnya sedang ada dimana. Miris,
tapi inilah fenomena yang barangkali saya pribadi sadar dan tidak sadar.
Seandainya, tombol kesadaran itu dapat kita kontrol, maka tombol on itu harus
senantiasa menyala ketika mencari ilmu.
“Luar
biasa! Penjelasannya bapak guru ini masuk banget ke otak. Jadi seneng
belajarnya!.”
Nah, kalau yang ini lebih bernada positif. Lagi-lagi, saya
yakin pasti banyak orang yang sudah berkata ataupun merasakan hal ini. Ya,
inilah fenomena pendidikan. Ada rahasia yang kita temukan dalam ruang kelas dan
kita berkata “AHA” lalu kita paham ilmu yang disampaikan oleh guru.
Error, ilmu was not connected. Kalau boleh saya analogikan,
antara pendidik dan peserta didik ketika proses pembelajaran memiliki saluran
koneksi yang tentu keduanya akan bertemu jika memenuhi syarat-syaratnya. Apa
syaratnya? Yaitu niat dan adab.
Mengapa
niat dan adab?
Oke. Niat dianalogikan sebagai tujuan dari pendidik itu
mendidik. Jika tujuannya benar-benar ingin mendidik peserta didik, maka sudah
tentu hatinya tidak akan gundah, karena tujuannya bukan karena materi atau
kekuasaan di lembaga semata. Akan tetapi niat lurus untuk mendidik. Tapi, itu
semua belum selesai. Niat yang sudah dipancarkan oleh pendidik kepada peserta
didik pun akan diterima pula oleh saluran koneksi peserta didik yang niatnya
sejalan dengan pendidik. Alhasil, terciptalah koneksi niat yang sama sehingga
ilmu bisa dengan mudah terserap dan dipahami. Begitupun sebaliknya, jika niat
keduanya tidak sama, maka sudah jelas ruang kelas akan semakin tak menentu akan
kemana arah ilmu itu menuju. Adab pun tak kalah pentingnya. Adab dapat kita
analogikan sebagai kontrol pengatur koneksi tersebut agar senantiasa stabil dan
konsisten. Menjaga perilaku antara pendidik dan peserta didik. Ramah, sopan
santun dan menghargai guru sebagai seseorang yang memiliki ilmu yang lebih.
Harus Ada Kesepakatan Niat dan
Jangan Lupa Berdo’a
Ini memang sederhana, tapi bermakna tinggi. Jika memang
Mendikbud dan Menristekdikti berani mencantumkan dalam kurikulum untuk
mengadakan “kesepakatan niat”. Karena ini untuk memudahkan koneksi pembelajaran
antara guru dengan muridnya, dosen dengan mahasiswanya. Terserah. Boleh
diucapkan ataupun disimpan di dalam hati. Setidaknya ada permulaan.
Berdo’a. Aktivitas yang sudah rutin dilakukan oleh kita
sejak mengenyam pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tinggal bagaimana
pendidik melakukan suatu pengkondisian yang khusyu ketika berdo’a sebelum
belajar hingga selesainya jam pelajaran. Barangkali, di pendidikan tinggi
berdo’a masih terlupakan. Padahal ini sangatlah penting untuk kemudian kita
meluruskan niat dan juga menguatkan jiwa raga agar senantiasa diberikan ilmu
yang bermanfaat.
Maka,
sudah seharusnya ada kesepakatan niat dan jangan lupa berdo’a.
Optimis Bisa
Dari
hasil kontemplasi tersebut, tercetuslah sebuah optimisme bahwa kita bisa untuk
memulai hal tersebut dari diri sendiri. Kemudian kita bisa mengajak lingkungan
sekitar. Hingga kepada sistem yang berlaku. Indonesia adalah Negara dengan
Bhineka Tunggal Ika sehingga setiap ajaran agamanya perlu untuk kemudian
melakukan hal ini. Niat dan Berdo’a
Agar
ilmu yang terkoneksi menjadi terkoneksi
Semoga
mencerahkan!
Fikri Faturrahman
Bandung, 25 April 2019
Bandung, 25 April 2019
Komentar
Posting Komentar