Siswa Putus Sekolah, Guru Tak Boleh Menyerah!

"Pa, Dia jarang masuk sekolah. Katanya udah gamau sekolah lagi." seorang siswa berkata.

Pertama kali diamanahkan sebagai Guru BK, tahun 2016. Saat itu, masih disibukkan dengan skripsi dan organisasi. Namun, jujur saja awal niat melamar ke SMK Pariwisata IT Nurul Imam (Cihanjuang) adalah untuk menambah uang pembayaran kontrakan. Tapi, lama kelamaan dihadapkan dengan situasi-situasi yang menuntut harus berbuat banyak untuk pengembangan BK. Mulai dari merencanakan program dan mengimplementasikan program. Sekuat tenaga mengusahakan untuk bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang telah didapatkan selama proses perkuliahan. Orientasi berubah menjadi pengabdian.

Nah, dari sekian banyak pengalaman yang didapatkan, saya akan berbagi pengalaman mengenai penanganan siswa terancam Drop Out (putus sekolah). Sejak itu terdapat salah seorang siswa yang benama "Dani" (Nama Samaran). Sudah lebih dari satu bulan ia tidak masuk sekolah. Orang tua sudah dihubungi namun orang tua mengalami kesulitan untuk mendorong anaknya sekolah. Akhirnya, saat itu saya berinisiatif untuk melakukan home visit ke rumah Dani.

Setelah tiba di rumah Dani, saya dipersilahkan masuk oleh Orang Tuanya. Saat itu, pukul 07.30 WIB Dani belum juga bangun tidur. 60 menit menunggu Dani untuk bangun, tetap saja tidak ada hasil. Akhirnya, saya meminta izin kepada Orang Tuanya untuk membangunkan Dani. Saat itu saya masuk kamarnya, ada asbak rokok dan lambang salah satu geng motor. Saya bangunkan Dani, Ia tetap saja tak mau untuk bangun. Setelah menunggu 20 menit di depan kamarnya akhirnya Dani bangun dan siap untuk diajak berbicara.

Setiap saya bertanya kepada Dani, Ia hanya bisa mengangguk dan menggeleng kepala. Ada satu pertanyaan yang membuat itu berbicara. "Dani, masih mau sekolah?" saat itu saya bertanya. Ia hanya menjawab "Udah males pak, ingin kerja aja". Awalnya, saya merasa kaget mendengar jawaban Dani. Susah payah orang tuanya membiayai Dani untuk sekolah, namun Dani membalasnya dengan keengganan untuk sekolah. Setelah ditelusuri, ternyata memang Dani banyak bergaul dengan anak-anak putus sekolah yang bekerja sebagai pekerja buruh.

Mendengar jawaban itu dan tau ternyata ada pengaruh teman-temannya, saya berkeinginan untuk memotivasi Dani agar tetap sekolah. Home visit berikutnya, saya datang lebih pagi, pukul 06.30 WIB ke rumah Dani. Masih sama seperti sebelumnya, Dani belum juga bangun. Sampai akhirnya saya tunggu dan dibujuk untuk ke sekolah, akhirnya Dani mau ke sekolah meski waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Saat itu, Saya dan Dani membawa motor masing-masing. Namun, kejadian tak diduga terjadi. Dani tiba-tiba melesat dengan kecepatan tinggi dan melawati gang sekolah. Saya tak mampu untuk mengejar Dani. Akhirnya kehilangan jejaknya dan tak bisa mengajak Dani sekolah.

Hampir putus asa, menyerah. Namun saya mencoba untuk sharing dengan teman-teman sekelasnya. Akhirnya, saya memiliki ide untuk mengajak semua anak laki-laki yang membawa motor untuk ikut home visit dengan saya ke rumah Dani. Untuk usaha home visit kali ini membuahkan hasil. Dani langsung mau pergi ke sekolah, dan diiring oleh teman-temanya yang membawa motor juga. 

Setelah sampai di sekolah, Dani tidak begitu saja berani masuk sekolah. Sekitar 30 menit Dani hanya bisa terdiam di depan pintu gerbang. Ia malu, takut, dan juga berkeinginan untuk pulang ke rumah saja. Teman-temannya berusaha membujuk juga dan akhirnya BERHASIL! Dani menginjakkan kembali kakinya ke sekolah, dengan sambutan teman-teman sekelasnya yang meriah. Wajah ceria teman-teman sekelasnya yang begitu bahagia karena melihat temannya yang kembali datang ke sekolah melengkapi bangku yang kosong di kelas.

Meski pada akhirnya, Dani tetap memilih untuk putus sekolah dan lebih memilih untuk bekerja. Setidaknya, adalah satu langkah berani untuk membuat gerakan baru untuk mengajak Dani ke sekolah, ada satu hari yang bermakna bagi seumur hidupnya, yaitu tentang kepedulian teman-teman sekelasnya.

Karena gunannya kelas di sekolah bukan untuk berkompetisi, melainkan berkolaborasi, saling mengingatkan, saling menguatkan, saling menghormati, dan saling menyemangati.

Jika kelas ada untuk berkompetisi, ada untuk saling menjatuhkan, ada untuk saling menghianati, ada untuk saling melemahkan, apa gunannya lagi sekolah?

Bukankah tugas sesama manusia adalah saling tolong menolong?

Cihanjuang, 2016. Kelas pertamaku, kelas terbaik.


Semoga bermanfaat



Bandung, 27 Februari 2019
Fikri Faturrahman

Komentar

Postingan Populer